Unfortunately, there’s actually nothing epic about… errr… Epic. Jangan salah. Chris Wedge (Robots,
2005) mampu menghadirkan presentasi visual film ini dengan kualitas
yang cukup mengesankan. Sangat indah, meskipun bukanlah presentasi
terbaik yang dapat diberikan oleh sebuah film yang memanfaatkan
teknologi 3D dalam tampilan visualnya. Wedge juga mampu menata
intensitas cerita yang kuat pada beberapa bagian cerita sehingga membuat
Epic terlihat begitu menarik untuk diikuti oleh para penonton
muda. Namun, terlepas dari segala keunggulan tersebut, secara
keseluruhan, Epic terasa jauh dari kesan spektakuler. Pada kebanyakan bagian kisahnya, Epic
lebih terkesan sebagai sebuah film yang menghadirkan pola penceritaan
dan karakter yang (terlalu) tradisional. Tidak salah. Namun… yah… jelas
tidak istimewa.
Ditulis berdasarkan buku cerita anak-anak berjudul The Leaf Men and the Brave Good Bugs karya William Joyce, Wedge mungkin berniat untuk menjadikan Epic
sebagai sebuah presentasi dengan atmosfer film keluarga tahun ‘90an
yang kental dengan kehadiran
kisah keluarga yang sederhana namun begitu
hangat plus beberapa pesan moral mengenai lingkungan hidup. Sayangnya…
terima kasih kepada Pixar, film-film animasi keluarga telah tumbuh
menjadi sebuah presentasi yang begitu dewasa selama beberapa tahun
belakangan. Film-film animasi keluarga tersebut masih mampu menangkap
perhatian para penonton muda. Namun, di saat yang bersamaan, film-film
animasi tersebut mampu menghadirkan deretan karakter yang kuat serta ide
cerita yang cenderung lebih kompleks – meskipun Cars 2 (2011) dan Brave
(2012) justru jauh dari kesan tersebut. Ide mengenai pendewasaan
film-film animasi keluarga inilah yang kemudian banyak diserap oleh
rumah produksi lain seperti DreamWorks dalam setiap presentasi film
mereka.
Anyway… Epic sendiri
berkisah mengenai kunjungan yang dilakukan Mary Katherine (Amanda
Seyfried) ke kediaman sang ayah, Professor Bomba (Jason Sudeikis),
seorang profesor yang memiliki perilaku dan jalan pemikiran yang cukup
eksentrik. Hubungan antara Mary Katherine dengan sang ayah sendiri
tidaklah dapat dikatakan sebagai sebuah hubungan yang terjalin harmonis.
Setelah sang ayah memutuskan untuk bercerai dengan sang ibu, Professor
Bomba kemudian memilih untuk mengasingkan dirinya guna menemukan
“orang-orang kecil” yang ia percayai hidup di kedalaman hutan dan
membuat komunikasinya dengan sang puteri menjadi terhambat. Mary
Katherine sendiri jelas tidak percaya dengan ide gila yang dimiliki sang
ayah di kepalanya. Namun, sebuah kejadian magis kemudian siap untuk
mengubah cara pandang Mary Katherine terhadap sang ayah.
Secara tidak sengaja ketika berjalan di
sekitar hutan, Mary Katherine menjadi saksi kematian pemimpin komunitas
masyarakat yang tinggal di pedalaman hutan, Queen Tara (Beyoncé
Knowles). Sebelum kematiannya, Queen Tara secara magis mengecilkan tubuh
Mary Katherine dan menyerahkan sebuah kuncup bunga yang nantinya akan
berkembang menjadi generasi penerus dirinya untuk ia lindungi. Walau
awalnya merasa panik, Mary Katherine akhirnya mau bekerjasama dengan
Ronin (Colin Farrell), Nod (Josh Hutcherson) serta pasukan pengamanan
kerajaan hutan untuk mengamankan kuncup bunga yang diserahkan Queen Tara
dari serangan pasukan Mandrake (Christoph Waltz) yang mencoba untuk
merebut kuncup bunga tersebut.
Meskipun telah menempatkan beberapa nama
untuk mengisi departemen penulisan naskahnya – James V. Hart, William
Joyce, Daniel Shere, Tom J. Astle, Matt Ember yang membangun cerita yang
sebelumnya disusun oleh Joyce, Hart dan Chris Wedge, namun adalah jelas
terasa bahwa Epic sama sekali hadir dengan rangka cerita yang
terlalu sederhana. Film ini terkesan sama sekali tidak pernah berniat
untuk membuat penonton familiar dengan deretan karakter yang hadir di
dalam jalan ceritanya. Semenjak Epic mulai bercerita, setiap
karakter seperti telah diberikan tugas untuk menjalani sisi
penceritaannya masing-masing tanpa pernah dihadirkan untuk menjadi sosok
yang dengan kedalaman karakter yang lebih kuat. Hal ini yang membuat
motivasi dari masing-masing karakter dalam menjalankan kisahnya sama
sekali tidak pernah terasa benar-benar meyakinkan: karakter antagonis
awalnya dikisahkan memiliki sebuah motivasi pribadi lalu secara perlahan
gagal untuk dikembangkan; masing-masing karakter protagonis juga
memiliki problematika sendiri namun tidak pernah mampu digambarkan
dengan lebih seksama. Lewat cara ini, sedikit sekali kesempatan bagi
penonton untuk benar-benar terhubung dengan jalan cerita film ini.
Di saat yang bersamaan, hampir tidak ada
jajaran pengisi suara film ini yang mampu hadir dalam kapasitas yang
mengesankan. Nama-nama seperti Amanda Seyfried, Colin Farrell, Josh
Hutcherson dan Christoph Waltz hadir dalam kapasitas yang tidak buruk,
namun sama sekali tidak mampu memberikan kehidupan yang kuat bagi setiap
karakter yang ada. Pitbull dan Steven Tyler bahkan tampil dalam
penampilan suara yang cenderung datar. Pun begitu, beberapa pengisi
suara mampu memberikan penampilan yang kuat: Beyoncé Knowles terdengar
sangat meyakinkan sebagai Queen Tara meskipun hadir dalam porsi
penceritaan yang minimal; duo Chris O’Dowd dan Aziz Ansari begitu mampu
mencuri perhatian dengan kemampuan mereka dalam mengeksekusi
dialog-dialog komedi yang diberikan pada karakter mereka, Mub dan Grub –
dan kehadiran mereka menjadi salah satu bagian terbaik dari Epic.
Sejujurnya, presentasi cerita Epic
sama sekali tidak pernah hadir dalam kualitas yang mengecewakan. Kisah
keluarga dan heroisme yang dihadirkannya memang begitu sederhana namun
tetap mampu dikembangkan dengan cukup baik oleh Chris Wedge. Bagian yang
paling mengesankan dari Epic jelas terletak pada kualitas
produksi film ini. Tata animasi yang ditampilkan berhasil tergarap
dengan begitu baik dan indah untuk disaksikan. Desain produksinya juga
hadir berkelas, dengan beberapa adegan dalam film ini mampu tampil
begitu kuat menutupi berbagai kekurangan sisi emosional yang terasa
kurang dikembangkan dari jalan cerita film. Epic jelas akan
memberikan sebuah sajian yang menarik pada penonton muda… dan mungkin
tampilan yang indah bagi penonton dewasa tanpa pernah benar-benar
membuat mereka peduli dengan film ini secara keseluruhan.