Di tahun 2009, dimana Hollywood dikuasai oleh film-film science fiction orisinal seperti Avatar serta District 9, J. J. Abrams mampu mencuri banyak perhatian penikmat film dunia ketika dirinya kembali menghadirkan sebuah franchise legendaris bernama Star Trek dengan sentuhan yang baru. Meski awalnya banyak mendapatkan keraguan, khususnya dari para penggemar setia franchise tersebut – yang biasa menyebut diri mereka sebagai Trekkies,
dengan bermodalkan naskah cerita arahan Roberto Orci dan Alex Kurtzman
yang sangat cerdas, Abrams mampu menghadirkan sebuah presentasi kisah Star Trek
yang cukup segar dan modern untuk dapat meraih banyak penggemar baru
namun tetap terasa sangat familiar untuk dapat memuaskan para penggemar
lamanya. Kesuksesan tersebut jelas telah membuka pintu kesempatan yang
sangat lebar bagi Abrams untuk dapat menjelajah lebih jauh dalam
menangani seri lanjutan franchise film yang telah dimulai semenjak tahun 1979 tersebut.
Jika Star Trek akan membawa para
penontonnya kepada awal kisah petualangan dua sahabat, Captain James T.
Kirk dan Commander
Spock, dalam mengarungi angkasa luas bersama dengan
para pengisi kapal luar angkasa Enterprise lainnya seperti Dr. Leonard
McCoy, Pavel Chekov, Hikatu Sulu, Nyota Uhura dan Montgomery Scott, maka
Star Trek Into Darkness sepertinya berusaha untuk lebih
mendalami kembali hubungan persahabatan yang terjalin antara dua sahabat
yang berasal dari dua planet yang berbeda tersebut – tentu saja dengan
tambahan plot kisah yang akan memberikan kesempatan bagi film ini untuk
menghadirkan deretan adegan aksi seperti yang telah disajikan di seri
sebelumnya. Mendapatkan tambahan tenaga pemikiran dari Damon Lindelof (Prometheus, 2012) di jajaran penulis naskahnya, Star Trek Into Darkness
sayangnya hadir dengan jalinan kisah yang terlalu sederhana untuk
disajikan dalam durasi sepanjang 133 menit yang membuat banyak bagian
film ini terasa bertele-tele dan datar dalam penceritaannya.
Star Trek Into Darkness memulai
perjalanan kisahnya dengan menceritakan mengenai Captain James T. Kirk
(Chris Pine) yang mendapatkan penurunan jabatan setelah dirinya
melanggar salah satu aturan Starfleet – walaupun hal tersebut
dilakukannya demi untuk menyelamatkan salah satu kru pesawat luar
angkasa Enterprise yang ia pimpin. Kejadian tersebut secara perlahan
lantas membuat hubungan persahabatan antara Captain Kirk dengan
Commander Spock (Zachary Quinto) menjadi renggang. Dengan kondisi hati
dan pemikiran yang berjalan bimbang, Captain Kirk sekali lagi
mendapatkan peringatan dari mentornya, Rear Admiral Christopher Pike
(Bruce Greenwood), mengenai bagaimana tingkah lakunya sebagai seorang
pemimpin yang terkadang tidak sesuai untuk diaplikasan dalam keseharian
masa tugasnya. Namun, penurunan posisi jabatan bukanlah satu-satunya
masalah besar yang akan dihadapi oleh Captain Kirk.
Salah seorang pegawai Starfleet, John
Harrison (Benedict Cumberbatch), ternyata melakukan pengkhianatan
terhadap organisasi tersebut dan merancang sebuah tindakan bom bunuh
diri kepada fasilitas rahasia Starfleet di London, Inggris. Sialnya,
tindakan bom bunuh diri tersebut ternyata hanyalah sebuah awal dari
rencana John Harrison – yang kini telah melarikan diri ke Kerajaan
Klingon – untuk menghancurkan Starfleet. Dengan kondisi organisasi yang
berantakan, Captain Kirk kemudian mendapatkan kembali jabatannya untuk
memimpin Enterprise. Dan bersama dengan Commander Spock serta deretan
kru yang ia percayai – plus seorang petugas baru yang mampu mencuri
perhatiannya, Dr. Carol Marcus (Alice Eve), Captain Kirk memulai misi
Enterprise untuk mengejar dan menangkap John Harrison.
Terlepas dari usaha J. J. Abrams untuk
menghadirkan sebuah penceritaan yang menyajikan lebih banyak deretan
adegan aksi jika dibandingkan dengan seri sebelumnya, Star Trek Into Darkness
pada dasarnya adalah sebuah jalinan cerita yang memaparkan lebih dalam
tentang persahabatan antara Captain Kirk dengan Commander Spock – suatu
hal yang membuat banyak karakter pendukung lainnya terpaksa harus
“disingkirkan” dengan hanya mendapatkan porsi penceritaan yang
minimalis. Bukan sebuah masalah besar, khususnya ketika Star Trek Into Darkness
mampu mewarnai kisah persahabatan tersebut dengan gambaran mengenai
sikap kepemimpinan serta pengorbanan yang dilakukan kedua karakter
tersebut dalam mempertahankan serta membela sosok sahabat mereka.
Sayangnya, di sisi lainnya, fokus yang terasa sedikit berlebihan
terhadap kisah persahabatan Captain Kirk dan Commander Spock sepertinya
membuat Abrams gagal untuk dapat mengembangkan berbagai plot penceritaan
lain yang dihadirkan dalam film ini.
Seperti yang telah diungkapkan
sebelumnya, kehadiran kisah persahabatan antara Captain Kirk dan
Commander Spock dalam porsi penceritaan yang lebih luas membuat
keberadaan banyak plot cerita pendukung yang berada di sekitar Star Trek Into Darkness
menjadi kurang begitu esensial kehadirannya – termasuk dengan plot
kisah mengenai serangan yang dilakukan oleh karakter John Harrison
terhadap Starfleet. Bagian ini sepertinya hanya dihadirkan untuk
memastikan keberadaan deretan adegan aksi dalam jalan cerita film ini.
Karenanya, sebuah kisah pengejaran yang dilakukan oleh kru Enterprise
terhadap karakter John Harrison akhirnya berlangsung panjang dengan
beberapa kejutan hadir di beberapa persimpangan ceritanya. Abrams mampu
menggarap sisi aksi dari plot penceritaan tersebut dengan baik. Namun
porsi kisah yang terlampau familiar namun diperpanjang sedemikian rupa
membuat Star Trek Into Darkness seringkali terkesan bertele-tele, melelahkan dan hadir tanpa poin penceritaan yang berarti.
Chris Pine dan Zachary Quinto sendiri
sepertinya telah mampu melepaskan bayang-bayang para pemeran karakter
Captain Kirk dan Commander Spock dari seri terdahulu franchise
ini. Baik Pine dan Quinto berhasil menghidupkan karakternya dengan baik
serta, yang paling penting, terlihat begitu nyaman dalam memerankan dua
karakter ikonik tersebut. Meskipun dengan karakterisasi peran yang
cenderung datar, Benedict Cumberbatch mampu hadir mencuri perhatian
dalam setiap kehadirannya di dalam jalan cerita. Mungkin jika Star Trek Into Darkness
mampu memberikan penggalian yang lebih dalam lagi terhadap karakter
John Harrison, maka penampilan Cumberbatch akan terasa lebih kuat
keberadaannya.
Selain karakter Captain Kirk dan
Commander Spock, nyaris tidak ada karakter yang tampil kuat di sepanjang
presentasi penceritaan Star Trek Into Darkness. Lihat bagaimana
karakter Nyota Uhura (Zoe Saldana) yang kini hanya berfungsi sebagai
karakter “sang kekasih” di dalam jalan cerita. Begitu juga dengan
beberapa karakter-karakter lain seperti Dr. Leonard McCoy (Karl Urban),
Pavel Chekov (Anton Yelchin), Hikatu Sulu (John Cho) dan Montgomery
Scott (Simon Pegg) yang terkesan hadir hanya sebagai perangkat jalan
cerita tanpa pernah hadir dalam porsi yang benar-benar utuh. Bahkan
karakter Dr. Carol Marcus yang diperankan oleh Alice Eve mungkin hanya
dihadirkan sebagai aksesori untuk memperindah tampilan visual cerita
belaka. Secara sederhana, dalam urusan karakterisasi, Star Trek Into Darkness
gagal untuk mengikuti jejak pendahulunya – dalam hal membuat setiap
penontonnya mampu merasa tertarik dengan setiap karakter yang hadir di
dalam jalan cerita, peduli terhadap mereka dan akhirnya menjalin ikatan
emosional untuk terus mengikuti kisahnya.
Harus diakui, J. J. Abrams mendapatkan sebuah pencapaian yang luar biasa melalui Star Trek. Tidak hanya mampu meyakinkan para penggemar lama franchise
ini, namun dengan jalan cerita yang begitu cerdas, penuh dengan
sentuhan komedi yang kuat serta deretan karakter yang hangat, versi reboot dari Star Trek mampu menjangkau jutaan penggemar baru. Sayangnya, Star Trek Into Darkness
kurang begitu mampu untuk mencapai tingkatan kecerdasan yang diraih
oleh pendahulunya. Tidak buruk, namun seri kedua ini sepertinya terlalu
berfokus untuk menghadirkan sisi hiburan daripada berusaha untuk tampil
brilian sekaligus mengesankan dalam sajian penceritaannya dengan lebih
mengutamakan tampilan visual pada deretan adegan aksinya. Gagal untuk
tampil istimewa.