Walau ketika mendengar judul Les Misérables
Anda kemungkinan besar akan langsung dapat membayangkan puluhan film
adaptasi novel legendaris berjudul sama karya Victor Hugo yang telah
dirilis sebelumnya – termasuk Les Misérables arahan Richard
Boleslawski yang dirilis pada tahun 1935 dan berhasil mendapatkan
nominasi di kategori Best Picture pada ajang Academy Awards, namun Les Misérables arahan Tom Hooper (The King’s Speech,
2010) adalah film layar lebar pertama yang merupakan adaptasi dari
drama panggung musikal karya Alain Boublil dan Claude-Michel Schönberg
yang telah begitu popular semenjak dipentaskan pada tahun 1985. Berbeda
dengan film musikal kebanyakan, Hooper memperlakukan Les Misérables
layaknya sebuah pertunjukan drama panggung: setiap dialog dan interaksi
antar karakter disajikan dalam bentuk nyanyian serta setiap pemeran
diharuskan untuk menyanyikan langsung dialog tersebut selama proses
produksi Les Misérables berlangsung. Sebuah tantangan yang jelas
memiliki resiko tinggi. Namun apakah Hooper mampu menghantarkan drama
panggungnya
sendiri dengan baik?
Les Misérables
sendiri memulai kisahnya dengan latar belakang negara Perancis pada
tahun 1815. Dikisahkan bahwa seorang narapidana, Jean Valjean (Hugh
Jackman), baru saja dilepaskan dari masa tahanannya yang telah berjalan
selama sembilan belas tahun akibat mencuri potongan roti. Walau telah
bebas, Jean Valjean mendapatkan status berada di bawah pengawasan tetap
dari seorang polisi bernama Javert (Russell Crowe) yang kemudian akan
mengikuti dan terus mencari jejak Jean Valjean kemanapun dirinya pergi.
Merasa masa lalunya adalah sebuah potongan kisah yang kelam, Jean
Valjean memilih untuk melupakan masa lalunya tersebut dengan bepergian
ke sebuah tempat yang jauh dan memulai kembali hidupnya dengan sebuah
identitas baru.
Delapan tahun berlalu, Jean Valjean kini
menjadi walikota Montreuil-sur-Mer. Pun begitu, Javert masih senantiasa
memburu dirinya dan mulai mencium jejaknya di kota tersebut. Perjumpaan
Jean Valjean dengan seorang wanita bernama Fantine (Anne Hathaway), yang
lalu menitipkan anaknya, Cosette (Isabelle Allen), kepada dirinya
secara perlahan mulai membuka kembali masa lalu kelam Jean Valjean. Guna
melarikan diri dari Javert, Jean Valjean kembali meninggalkan hidup
yang telah dibangunnya selama ini. Sembilan tahun kemudian, Jean Valjean
hidup secara terasing bersama Cosette yang telah tumbuh dewasa (Amanda
Seyfried). Pilihan untuk mengasingkan diri jelas diambil Jean Valjean
agar Javert tidak mengetahui keberadaan dirinya. Namun, ketika Cosette
terlibat dalam sebuah hubungan asmara dengan seorang pemuda bernama
Marius (Eddie Redmayne) dan terjebak dalam situasi politik Perancis yang
sedang memanas, apakah Jean Valjean harus memilih untuk kabur dari masa
lalunya kembali?
Tom Hooper mampu memperkenalkan Les Misérables
secara fantastis pada 60 menit pertamanya. Deskripsi mengenai
karakter-karakter awal seperti Jean Valjean, Javert dan Anne Hathaway
serta hubungan yang terjalin antara mereka dengan latar belakang
kekacauan yang terjadi di berbagai sudut negara Perancis mampu
dihadirkan dengan begitu emosional. Puncaknya adalah ketika karakter
Fantine yang diperankan oleh Anne Hathaway menyanyikan I Dreamed a Dream
yang mengisahkan mengenai kepedihan jalan hidup yang harus ia lalui.
Hathaway menumpahkan seluruh emosinya kepada penampilan tersebut dan
akan mampu membuat seluruh penonton merasakan pedihnya penderitaan hidup
Fantine. Sayangnya, penampilan I Dreamed a Dream oleh Hathaway sekaligus menjadi klimaks Les Misérables
yang kemudian gagal untuk diulangi kembali pada kelanjutan kisah film
ini – yang, tentu saja, masih bersisa sepanjang 90 menit lagi.
Ketika Les Misérables bertutur mengenai kehidupan karakter Jean Valjean dan Cosette yang telah dewasa, Les Misérables
harus diakui tetap mampu dikemas secara menarik – secara teknikal dan
penampilan setiap jajaran pemeran yang tetap mempesona. Namun Hooper
gagal menyajikan tuangan emosi yang sebenarnya dibutuhkan oleh penonton
untuk dapat terkoneksi pada setiap karakter yang hadir dalam jalan
cerita film ini. Konsentrasi yang penuh terhadap penyajian tampilan
musikal film ini seperti membuat naskah cerita Les Misérables
secara perlahan menyingkirkan penggalian karakter yang seharusnya mampu
membuat setiap karakter yang ada di dalam jalan cerita film ini tampil
menarik. Dangkalnya karakterisasi inilah yang membuat hubungan cinta
antara karakter Cosette dan Marius terasa hambar atau dramatisnya
revolusi Perancis seringkali terlihat kurang menarik atau intrik yang
terbentuk dalam hubungan karakter Jean Valjean dan Javert terasa
berjalan dengan datar pada kelanjutan kisah Les Misérables. Satu-satunya penampilan musikal yang mungkin akan dapat mendekati tingkatan emosional I Dreamed a Dream oleh Anne Hathaway adalah penampilan Samantha Barks lewat On My Own, yang, sayangnya, lagi-lagi hadir dalam kapasitas terbatas.
Adalah sebuah pilihan berani bagi Hooper untuk menerapkan teknik menyanyikan setiap penampilan musikal Les Misérables
secara langsung di lokasi pengambilan gambar oleh setiap jajaran
pemeran film ini daripada merekamnya terlebih dahulu di studio rekaman.
Pilihan yang jelas diambil Hooper agar hantaran emosi di setiap lagu
mampu tampil lebih kuat dan menyentuh. Namun sepertinya formula tersebut
justru berbalik arah dan menghasilkan reaksi yang berlawanan. Pada
kebanyakan bagian, para pemeran Les Misérables terlihat terlalu
berkonsentrasi untuk menyanyikan lagu yang mereka dapatkan sehingga
gagal untuk menyalurkan emosi yang sebenarnya tertanam pada lagu
tersebut. Dari segi akting, deretan pengisi departemen akting film ini
mampu menampilkan penampilan terbaik mereka. Namun dari segi nyanyian…
jelas Russell Crowe, Sacha Baron Cohen dan Helena Bonham Carter (serta
Amanda Seyfried?) terlihat datar jika dibandingkan dengan penampilan
Anne Hathaway, Samantha Barks, Hugh Jackman dan Eddie Redmayne.
Untuk menyatakan Les Misérables
sebagai sebuah karya yang gagal jelas akan merendahkan berbagai usaha
dan hasil yang dicapai oleh Tom Hooper dalam film musikal ini. Hooper
berhasil menyusun Les Misérables tampil dengan begitu mempesona
pada kualitas desain produksi maupun pengarahan akting pada seluruh
jajaran pemeran filmnya. Sayangnya, konsentrasi yang penuh terhadap
penampilan musikal pada film ini seperti membuat Hooper lengah dan
akhirnya melupakan bahwa karakter-karakter di dalam jalan ceritanya
butuh tampilan emosi yang lebih kuat untuk membuat mereka mampu tampil
lebih menarik bagi kebanyakan penonton. Sebuah sajian yang indah, namun
gagal untuk tampil lebih mengikat secara emosional.
JIKA ANDA TELAH SELESAI MEMBACA ARTIKEL INI, DIMOHON KLIK IKLAN DIBAWAH INI, UNTUK MEMBANTU PEMBIAYAAN BLOG. TERIMA KASIH.
JIKA ANDA TELAH SELESAI MEMBACA ARTIKEL INI, DIMOHON KLIK IKLAN DIBAWAH INI, UNTUK MEMBANTU PEMBIAYAAN BLOG. TERIMA KASIH.