Diangkat dari novel berjudul sama karya David Mitchell, Cloud Atlas
mengisahkan enam cerita yang berjalan pada enam era yang berbeda –
tepatnya terjadi sepanjang hampir 500 tahun masa kehidupan
karakter-karakternya, dimulai dari tahun 1849 hingga tahun 2321.
Terdengar seperti premis film-film yang menawarkan banyak cerita
kebanyakan? Mungkin saja. Namun oleh tiga sutradaranya, duo Lana dan
Andy Wachowski (trilogi The Matrix, 1999 – 2003) serta Tom Tykwer (The International,
2009), premis tersebut mampu dikembangkan menjadi salah satu presentasi
film paling ambisius selama beberapa tahun terakhir: digerakkan dengan
gaya penceritaan interwoven, diperankan oleh deretan pengisi
departemen akting yang sama serta dihadirkan dengan kualitas tata
produksi yang begitu memukau. Dan yang lebih mengagumkan lagi, terlepas
dari berbagai tampilan audio visualnya yang megah, Cloud Atlas tetap mampu menghadirkan sentuhan emosional yang kuat dari setiap sisi ceritanya.
Perjalanan mengarungi ruang dan waktu dalam Cloud Atlas dimulai
dengan segmen pertama pada film ini, The Pacific Journal of Adam Ewing,
yang berkisah mengenai pertemuan antara seorang pengacara bernama Adam
Ewing (Jim Sturgess) dengan seorang budak berkulit hitam bernama Autua
(David Gyasi) yang kemudian mengubah berbagai sisi kehidupan keduanya.
Segmen kedua, Letters from Zedelghem, bercerita mengenai musisi
muda, Robert Frobisher (Ben Whishaw), yang menemukan kesempatan untuk
mengembangkan karirnya ketika ia diterima bekerja bersama seorang
maestro musik dunia namun secara perlahan menyadari bahwa komposisi
musik yang ia rancang terancam untuk dimiliki orang lain. Kisah ketiga, Half-Lives: The First Luisa Rey Mystery,
memaparkan mengenai seorang jurnalis, Luisa Rey (Halle Berry), yang
menemukan fakta konspirasi mengenai keamanan pengelolaan nuklir yang
dilakukan oleh Lloyd Hooks (Hugh Grant). Sebagai seorang jurnalis, Luisa
kemudian terus berusaha untuk mencari tahu lebih banyak tentang fakta
tersebut – sebuah usaha yang kemudian membuat nyawanya terancam.
Tiga cerita berikutnya berlatar belakang waktu di masa yang lebih modern. The Ghastly Ordeal of Timothy Cavendish
bercerita mengenai seorang penerbit buku bernama Timothy Cavendish (Jim
Broadbent) yang berusaha untuk melarikan diri dari jebakan panti jompo
yang dibuat oleh sang kakak. Segmen kelima yang berjudul An Orison of Sonmi~451
berlatar belakang di masa depan dan mengisahkan mengenai seorang
pelayan yang merupakan hasil produksi genetis bernama Sonmi (Doona Bae)
yang berusaha untuk menemukan arti serta kebebasan hidupnya. Cloud Atlas kemudian ditutup dengan kisah terakhir berjudul Sloosha’s Crossin’ an’ Ev’rythin’ After
yang menceritakan mengenai usaha seorang pria bernama Zachary (Tom
Hanks) yang bersama dengan koloninya berusaha untuk tetap dapat bertahan
hidup dari serangan koloni lain di desa kecil yang mereka tinggali.
Terlepas dari kesan rumit yang mungkin muncul dalam menikmati menit-menit awal presentasi cerita film ini, dari sisi naratif, Cloud Atlas
sebenarnya tidak menawarkan tema penceritaan baru di dalam
kisah-kisahnya. Tema mengenai pencarian kebebasan maupun kisah
percintaan yang dihadirkan jelas merupakan tema-tema familiar yang telah
banyak dieksplorasi namun kali ini disajikan dengan variasi penceritaan
yang berbeda. Perhatian lebih di awal penceritaan memang dibutuhkan
bagi penonton mengingat banyaknya karakter yang hadir di dalam jalan
cerita diperankan oleh sosok pemeran yang sama. Namun ketika Anda mampu
melewati pembatas tersebut, dan berhasil memegang Cloud Atlas sebagai sebuah presentasi penceritaan regular, maka Cloud Atlas akan mampu memberikan lebih banyak sisi penceritaannya.
Kecerdasan terbesar dari Cloud Atlas
sendiri berasal dari keberhasilan duo Wachowski dan Tom Tykwer untuk
menggarap ceritanya dengan tata produksi yang benar-benar brilian.
Dimulai dengan tata rias dan kostum yang mampu mengubah setiap pemeran
menjadi sosok karakter yang baru (dan kadang tidak dapat dikenali) dalam
setiap segmen. Kemudian dari sisi produksi desain yang berhasil
memberikan dukungan atmosfer ilustrasi yang begitu kuat bagi setiap
cerita. Sisi emosional setiap cerita juga semakin diperkuat oleh tata
musik arahan Tykwer bersama Johnny Klimek dan Reinhold Heil. Ketiganya
mampu memberikan tata musik yang berbeda di setiap segmen penceritaan –
yang sekaligus menjadi identitas setiap cerita – dan menghadirkannya
sebagai sebuah elemen presentasi yang begitu indah. Namun, di atas
segala keberhasilan departemen produksi, adalah tata gambar arahan
Alexander Berner yang mampu menyatukan keenam cerita dalam Cloud Atlas
menjadi sebuah kesatuan yang rasanya sulit untuk dipisahkan satu sama
lain. Berkat sentuhan Berner, enam cerita ini saling menopang satu sama
lain, memiliki benang merah yang membuat sisi penceritaannya menjadi
lebih menarik hingga berhasil membawa setiap cerita dalam Cloud Atlas dalam satu garis perjalanan emosional yang seimbang.
Dan tentu saja, Cloud Atlas juga
mendapatkan dukungan yang sangat solid dari kualitas penampilan setiap
pengisi departemen aktingnya. Nama-nama seperti Tom Hanks, Halle Berry,
Jim Sturgess, Jim Broadbent, Ben Whishaw, Doona Bae hingga Hugo Weaving
dan Hugh Grant berhasil mempresentasikan diri mereka sebagai bunglon
yang tampil dengan karakter dan penjiwaan yang begitu berbeda dalam
setiap segmen. Tidak semua sisi dalam penceritaan Cloud Atlas
berhasil tampil dengan baik – beberapa diantaranya akan tetap menyisakan
kebingungan dan beberapa lainnya disampaikan dengan terlalu
bertele-tele. Pun begitu, duo Wachowski dan Tom Tykwer telah memberikan
sebuah presentasi yang sangat memukau dengan apa yang telah mereka
berikan lewat Cloud Atlas.
Meskipun Cloud Atlas jelas adalah
sebuah pencapaian teknis dalam skala besar yang mampu menutupi berbagai
kesederhanaan (baca: kekurangan) yang terdapat dalam narasi
penceritaannya, namun keberhasilan Lana Wachowski, Tom Tykwer dan Andy
Wachowski dalam menata setiap penceritaan di dalam Cloud Atlas
untuk menjadi sebuah kesatuan yang solid jelas tidak dapat dipungkiri
begitu saja. Begitu solidnya penataan setiap bagian cerita dalam film
ini, penonton akan mampu mendapatkan berbagai hal-hal baru ketika mereka
menyaksikan film ini berulang kali. Cloud Atlas adalah sebuah pengalaman sinematikal mewah dan megah yang jelas tidak boleh dilewatkan begitu saja.
JIKA ANDA TELAH SELESAI MEMBACA ARTIKEL INI, DIMOHON KLIK IKLAN DIBAWAH INI, UNTUK MEMBANTU PEMBIAYAAN BLOG. TERIMA KASIH.
JIKA ANDA TELAH SELESAI MEMBACA ARTIKEL INI, DIMOHON KLIK IKLAN DIBAWAH INI, UNTUK MEMBANTU PEMBIAYAAN BLOG. TERIMA KASIH.