Diangkat dari buku berjudul sama karya Raditya Dika, Cinta Brontosaurus
berkisah mengenai deretan ketidakberuntungan yang dialami oleh seorang
pemuda bernama Dika (Raditya Dika) ketika ia harus berhadapan dengan
masalah cinta. Ketika hubungan romansanya dengan Nina (Pamela Bowie)
berakhir kandas seperti deretan kisah percintaannya yang telah lalu,
Dika akhirnya mendeklarasikan bahwa ia tidak akan lagi mau merasakan
yang namanya jatuh cinta. Dika bahkan menyamakan perasaan cinta tersebut
layaknya seekor brontosaurus yang suatu saat akan menemukan masa
kadaluarsanya… dan kemudian menghilang begitu saja. Pernyataan tersebut
jelas ditolak oleh sahabat sekaligus agen penerbitan Dika, Kosasih
(Soleh Solihun), yang disaat bersamaan sedang menjalin hubungan romansa
dengan Wanda (Tyas Mirasih). Kosasih lantas berinisiatif untuk
memperkenalkan Dika dengan beberapa gadis yang dinilainya sesuai dengan
kriteria pemuda tersebut.
Sayangnya,
tak satupun dari deretan gadis cantik yang diperkenalkan
oleh Kosasih
mampu menarik hati Dika. Adalah pertemuannya yang tidak disengaja dengan
seorang gadis bernama Jessica (Eriska Rein) yang justru membuat Dika
kembali mempertimbangkan teori “cinta brontosaurus” miliknya.
Kepribadian Jessica yang sama anehnya dengan jalan pemikiran Dika
membuat hubungan mereka mampu bertambah dekat dengan demikian cepat
hingga akhirnya keduanya memutuskan untuk saling berpacaran. Walau
merasa telah menemukan sosok yang ia cari selama ini, rasa ketakutan
Dika bahwa cinta Jessica pada dirinya akan berakhir seiring dengan
berjalannya waktu tidak lantas menghilang begitu saja. Ketakutan itulah
yang secara perlahan kemudian mulai memberikan berbagai hambatan bagi
kisah cinta Dika bersama Jessica untuk dapat berjalan lebih serius.
Jika Kambing Jantan (2009) –
dimana Raditya Dika menulis naskah ceritanya bersama dengan Salman
Aristo dan Mouly Surya – terasa terlalu menitikberatkan kisahnya pada
sisi drama dan jauh meninggalkan bagian komedinya, maka Cinta Brontosaurus
– yang naskah ceritanya dikerjakan sendiri oleh Raditya Dika – justru
mencoba untuk berjalan lebih santai dengan menonjolkan kekuatan komedi
dan tidak terlalu berusaha untuk menyajikan dramatisasi yang kuat.
Sayangnya… Raditya Dika sepertinya belum memiliki kemampuan yang tajam
untuk mengolah sebuah naskah cerita film. Cinta Brontosaurus
mungkin tampil lebih lugas dalam bercerita (dan bercanda) ketika deretan
guyonan yang disajikan dihadirkan dalam bentuk untaian kata-kata
tertulis. Namun ketika diterjemahkan dalam tatanan audio visual, guyonan
Raditya Dika terasa kurang matang dan gagal untuk menghadirkan sebuah
hiburan yang benar-benar kuat.
Pada kebanyakan bagian presentasinya, Cinta Brontosaurus
lebih sering terlihat sebagai sebuah kumpulan sketsa komedi bertemakan
kesialan seorang pemuda dalam menghadapi berbagai problematika cinta
daripada sebagai sebuah kesatuan kisah yang utuh mengenai perjalanan
seorang karakternya dalam mendapatkan atau mempelajari arti dari
perasaan jatuh cinta. Hal ini yang kemudian membuat film ini terasa
begitu monoton dalam bercerita: menawarkan guyonan komedi (yang tak
begitu lucu, sayangnya) kemudian kembali ke perjalanan cinta serta
beberapa plot cerita tambahan sang karakter utama dan kemudian kembali
menghadirkan guyonan (yang tak begitu lucu) lainnya. 98 menit durasi Cinta Brontosaurus hadir dalam formula tersebut secara berulangkali yang akhirnya akan terasa begitu melelahkan untuk diikuti.
Rasa kekaguman Raditya Dika terhadap
Woody Allen juga beberapa kali ditampilkan lewat deretan poster
bergambarkan Allen di berbagai adegan film. Namun, jangan mengharapkan
bahwa atmosfer komedi romantis yang manis a la Allen mampu hadir dalam
penceritaan Cinta Brontosaurus. Sama seperti kualitas komedi film ini, Raditya Dika juga kurang begitu mampu menangani sisi drama dari Cinta Brontosaurus.
Lemahnya sisi drama film ini kebanyakan disebabkan oleh dangkalnya
penggambaran yang dilakukan Raditya Dika terhadap karakter-karakter yang
hadir dalam jalan cerita film. Hubungan antara karakter Dika dengan
karakter Jessica tidak pernah mampu benar-benar tersaji dengan sempurna.
Hubungan persahabatannya dengan karakter Kosasih juga terlihat kurang
meyakinkan – dengan karakter Kosasih lebih sering tergambarkan sebagai
sesosok karakter yang begitu annoying dalam setiap perbuatan maupun perkataannya. Sementara itu, karakter keluarga Dika – yang seharusnya dapat menjadi gambaran dysfunctional family
yang menyenangkan atau menghibur – gagal mendapatkan bagian penceritaan
yang lebih mendalam dan lebih sering terlihat sebagai pelengkap cerita
belaka.
Fajar Nugros mungkin tidak memiliki banyak kesempatan untuk mengembangkan naskah cerita Cinta Brontosaurus
yang terlanjur terlalu dangkal tersebut. Walaupun begitu, Fajar Nugros
jelas memiliki kesempatan untuk memperbaiki kualitas presentasi
keseluruhan film ini dengan menghadirkannya dalam ritme penceritaan yang
tepat maupun pengarahan akting yang lebih kuat. Sayangnya, hal tersebut
tidak terjadi dalam hasil kualitas akhir Cinta Brontosaurus.
Dengan jalan penceritaan yang terkesan sebagai sebuah potongan-potongan
komedi yang tidak pernah benar-benar mampu menyatu satu sama lain,
pilihan untuk menghadirkan Cinta Brontosaurus dalam tempo
penceritaan yang sederhana justru membuat film ini terkesan terlalu
bertele-tele dalam bercerita. Pengarahan Fajar Nugros terhadap para
pemerannya juga terkesan terlalu lemah dengan banyak diantara para
pemeran film ini terlihat terlalu santai dalam penampilannya sehingga
gagal menghasilkan chemistry yang kuat dengan para pemeran lainnya.
Sebagai seorang aktor, Raditya Dika
sepertinya telah mengetahui batas kemampuan drama yang ia miliki.
Karakter Dika yang ia hadirkan dalam Cinta Brontosaurus – dan juga dalam Kambing Jantan
– jelas merupakan kapasitas akting penuh yang dapat dihadirkannya.
Masih terlihat terbatas dalam beberapa bagian namun jelas mengalami
pengingkatan dari debut penampilan aktingnya di Kambing Jantan. Tampilan akting paling lemah dalam film ini justru datang dari Eriska Rein yang terlihat kaku dan dengan chemistry yang begitu lemah dengan Raditya Dika serta Soleh Solihun yang… well…
hadir datar di sepanjang penampilannya di film ini. Bukan kesalahan
para pemeran secara keseluruhan mengingat karakter-karakter yang hadir
dalam jalan cerita Cinta Brontosaurus memang begitu terbatas
kapasitas penceritaannya – kapasitas yang membuat nama-nama pemeran
seperti Dewi Irawan dan Meriam Bellina yang biasanya selalu mampu tampil
memukau kali ini hadir dalam penampilan yang begitu lemah.
Terlepas dari kualitas guyonan dan jalan
cerita yang sepertinya lebih difokuskan untuk dapat dinikmati oleh
kalangan penonton yang berusia jauh lebih muda, Cinta Brontosaurus
harus diakui hadir dalam berbagai plot komedi klise yang gagal untuk
dikembangkan dengan baik. Pengembangan cerita dan karakter yang dangkal
itulah yang membuat Cinta Brontosaurus – yang diparuh awal
penceritaannya mungkin masih mampu tampil menghibur, lama-kelamaan mulai
terasa begitu bertele-tele dalam bercerita, membosankan dan berakhir
dengan kehilangan daya tariknya sama sekali. Bukan sebuah presentasi
keseluruhan yang sangat buruk namun jelas terasa membuang begitu banyak
potensi yang sebenarnya dapat diolah untuk membuat Cinta Brontosaurus menjadi sebuah sajian komedi yang memikat.